Kebijakan Donald Trump dan Gelombang Protes yang Melanda Negara Bagian di Amerika Serikat

Masa kepresidenan Donald J. Trump (2017–2021) menandai era yang penuh gejolak TRISULA 88 dalam lanskap politik Amerika Serikat. Di balik janji “Make America Great Again”, Trump memberlakukan berbagai kebijakan yang kontroversial dan memecah belah masyarakat. Akibatnya, gelombang protes besar-besaran melanda berbagai negara bagian, mencerminkan ketegangan yang mendalam di tengah masyarakat Amerika.

Kebijakan Kontroversial yang Mencetuskan Ketegangan

Sejak awal masa jabatannya, Trump mengambil pendekatan yang tegas terhadap isu imigrasi. Salah satu kebijakan paling kontroversial adalah larangan perjalanan bagi warga dari beberapa negara mayoritas Muslim, yang sering disebut sebagai “Muslim Ban”. Kebijakan ini memicu kecaman luas, termasuk dari lembaga HAM internasional, dan memicu aksi protes di bandara-bandara besar seperti JFK (New York) dan LAX (Los Angeles).

Di bidang perbatasan, Trump juga menekankan pembangunan tembok di sepanjang perbatasan selatan dengan Meksiko untuk menghentikan imigrasi ilegal. Kebijakan “zero tolerance” yang diterapkan pemerintahannya menyebabkan ribuan anak imigran dipisahkan dari orang tua mereka—pemicu gelombang protes dan kritik pedas, bahkan dari sebagian anggota Partai Republik sendiri.

Tak hanya dalam isu imigrasi, kebijakan lingkungan Trump juga menuai kecaman. Penarikan Amerika Serikat dari Perjanjian Iklim Paris pada 2017 menjadi simbol lemahnya komitmen pemerintahannya terhadap perubahan iklim. Kota-kota besar seperti San Francisco, Seattle, dan New York menjadi pusat aksi protes dan deklarasi “perlawanan lokal” terhadap kebijakan iklim federal.

Ketegangan Rasial dan Gerakan Black Lives Matter

Namun, salah satu titik balik paling eksplosif dalam masa pemerintahan Trump adalah saat gelombang protes besar-besaran muncul sebagai respons terhadap ketidakadilan rasial. Pembunuhan George Floyd oleh polisi di Minneapolis pada Mei 2020 menyulut kemarahan nasional. Video kejadian tersebut viral dan memicu demonstrasi di hampir seluruh negara bagian, dari Portland hingga Miami.

Respon Trump terhadap protes tersebut dianggap tidak sensitif dan represif. Ia menyebut para demonstran sebagai “penjahat” dan mengancam akan mengerahkan militer untuk membubarkan aksi unjuk rasa. Pernyataan dan tindakan ini justru memperdalam luka sosial, memicu bentrokan antara demonstran dan aparat keamanan, serta memperluas cakupan protes ke isu yang lebih luas seperti supremasi kulit putih, kekerasan polisi, dan ketidaksetaraan struktural.

Gerakan Black Lives Matter menjadi simbol perlawanan terhadap sistem yang dinilai menindas kelompok minoritas, dan Trump dilihat sebagai tokoh yang memperparah polarisasi tersebut. Retorika Trump yang kerap menyudutkan media, mengabaikan sains, dan memicu ketegangan rasial memperburuk citranya di kalangan progresif dan minoritas.

Protes di Tingkat Negara Bagian

Dinamika protes yang meluas tidak hanya terbatas pada isu nasional, tetapi juga dipengaruhi oleh respons pemerintah negara bagian. Di negara bagian yang dikuasai Partai Demokrat seperti California, Illinois, dan Washington, gubernur-gubernur menolak kebijakan Trump secara terbuka dan memberikan ruang aman bagi aksi damai. Sebaliknya, di negara bagian yang lebih konservatif seperti Texas dan Florida, aparat keamanan sering kali merespons dengan tindakan keras.

Di Portland, Oregon, kehadiran agen federal tanpa identitas yang menangkap demonstran secara acak memicu krisis konstitusional kecil. Banyak pihak mengecam apa yang mereka sebut sebagai “militerisasi” lembaga federal untuk menekan perbedaan pendapat. Hal ini semakin memperkuat kesan bahwa kebijakan Trump tidak hanya kontroversial, tetapi juga berpotensi menggerus prinsip-prinsip demokrasi.

Warisan yang Masih Terasa

Meski Trump tidak lagi menjabat sebagai presiden, warisan kebijakannya masih terasa dalam politik Amerika. Polarisasi yang meningkat, ketidakpercayaan pada institusi, serta kebangkitan kelompok ekstrem kanan adalah sebagian dari dampak yang membekas. Bahkan hingga hari ini, diskursus publik di AS masih dipengaruhi oleh perpecahan yang tumbuh selama pemerintahannya.

Trump sendiri tetap menjadi figur dominan dalam Partai Republik dan mempertahankan basis pendukung yang loyal. Hal ini menjadikan banyak isu—seperti kebijakan imigrasi, pengendalian senjata, hingga hak-hak sipil—sebagai medan pertempuran politik yang terus berlangsung.

Kesimpulan

Kebijakan Donald Trump selama menjabat sebagai Presiden AS memunculkan reaksi luas yang mencerminkan kompleksitas dan keretakan dalam masyarakat Amerika. Gelombang protes yang melanda berbagai negara bagian bukan sekadar respons spontan, melainkan ekspresi dari keresahan mendalam terhadap arah politik negara. Dari isu rasial, lingkungan, hingga hak asasi manusia, masa kepemimpinan Trump telah meninggalkan jejak yang akan terus menjadi bahan diskusi, perlawanan, dan refleksi dalam perjalanan demokrasi Amerika.

By admin